Masa Kuliah – 1

Pendidikan sarjana aku tempuh di Departemen Kimia Universitas Indonesia. Tak mudah melewati perkuliahan disini semenjak meningkatnya biaya pendidikan. Sungguh uang seratus ribu, dua ratus ribu adalah uang yang besar bagiku dimasa kuliah dulu.

Pada tingkat pertama, semua biaya semester dan bulanan masih dapat kiriman dari Bapak tercinta. Walaupun kiriman dari Bapak terkadang masih kurang untuk ukuran hidup di Depok. Sehingga sering kali hanya sarapan mi instant yang beberapa semester kemudian mengakibatkan kena radang lambung. (masya Allah…udah susah, sakit pula)

Tantangan lain yang dihadapi adalah bagaimana dengan biaya alat tulis, fotocopy materi kuliah, buku, print makalah-makalah dan tugas. Ya Allah….ternyata begitu banyak ujian yang dihadapi. Bersama partnerku, Oky, kami putuskan untuk mengkoordinir ketika ada materi-materi yang perlu difotocopy, kita mencari tempat fotocopy yang paling murah agar bisa mengambil keuntungan dari jasa tersebut.

Dari jasa footocopy ini mungkin bisa menutup biaya fotocopy materi. Tapi, tentu saja masih kurang untuk membeli buku, print makalah dan biaya hidup yang semakin mahal. Akhirnya bersama Oky, aku mencari tempat-tempat les privat untuk mendaftar sebagai pengajar. Alhamdulillah kita diterima untuk menjadi pengajar dengan honor Rp.17,500 sekali datang. Dan ngajarnya seminggu sekali, paling banter kalau ada panggilan 2 kali seminggu. Dan untuk menuju tempat ngajar pun harus bersusah payah naik bus “Deborah” yang terkenal gak akan berhenti narik penumpang sebelum berjubel. Alhamdulillah, bisa dapat tambahan walau sedikit.

Setelah beberapa bulan mengajar pada lembaga privat tersebut, Alhamdulillah dikasih murid dari kakakku yang dulu pernah mengajar. Dan honornya pun Alhamdulillah Rp 30,000 sekali datang. Dan untungnya, setiap selesai ngajar sering kali kita dapat makan malam. Lumayan, bisa menghemat uang makan dan perbaikan gizi. Namun, sedihnya, kendaraan menuju tempat tersebut sangat terbatas, sehingga tak jarang harus mencari ojek dengan biaya lebih, atau kalau lagi apes terpaksa jalan kaki sampai dapat angkot terdekat.

Dalam kehidupan perkuliahan pun, sebagai seorang mahasiswa dari daerah terkadang merasa “minder” dengan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari jabodetabek dan memiliki prestasi yang bagus-bagus. Pada semester 1 itu, masih teringat ada 2 atau 3 orang yang memang dari SMU sudah menunjukan akademik bagus yang selalu jadi andalan teman-teman kuliah untuk dimintai tolong re-teach bahan kuliah yang sulit.

Saat itu, teman-temanku boleh dibilang “tidak memperhitungkan”ku. Tapi it’s OK. Hal itu wajar karena sudah berasal dari daerah, biaya juga kurang sampai ngobyek fotocopyan, apa mungkin bisa diandalkan buat ngajarin bahan kuliah? Tapi, aku gak peduli dan enjoy dengan apa yang ada. Hingga pada akhir semester, IP-ku semester pertama 3,53 dan merupakan peringkat 3 di angkatanku. Dari sinilah teman-teman mulai memperhitungkanku dalam bidang akademis. Aku mulai sering diminta untuk mengajarkan kembali bahan kuliah yang susah – susah seperti Analytical Chemistry, Physical Chemistry, Modern Physics, dan lain sebagainya. Nah, hal-hal seperti inilah yang kemudian aku manfaatkan karena sering kali aku bolos kuliah karena perlu mengajar privat untuk tambahan biaya ataupun ada kegiatan organisasi.

Namun, sekitar semester 2, Bapak tercinta sudah menyatakan tidak mampu membiayai hidup bulananku di Depok ini. Kakakku yang bekerja sebagai awak kapal bersedia membantu biaya semesteran dengan catatan aku harus berjuang sendiri untuk bisa menghidupi diri sendiri selama kuliah.

Jangankan buat biaya semesteran, buat hidup saja terasa susah. Tapi masih teringat jelas dalam ingatanku pesan seorang senior yang dulu tinggal 1 kost bersamaku : “Pur, kalau mau kuliah itu, jangan kita yang bayar, kita kuliah itu justru kita yang harus dibayar. Jadilah seperti mutiara, walaupun kecil tapi mempunya nilai yang jauh lebih tinggi dari batu biasa” Aku pikirkan dalam-dalam kata-kata itu dan selalu aku jadikan cambuk untuk melecut semangatku.

Setelah aku renungkan kata-kata itu, aku sadar bahwa prestasi adalah sesuatu yang bisa membantu agar kuliahku justru dibayar, bukan membayar. Alhamdulillah pada semester 1 aku mampu memperoleh IP 3,53. Dengan modal itulah aku mencoba mengajukan beasiswa ETOS dari Republika pada akhir semester 2. Alhamdulillah besarnya beasiswa Rp. 250,000 per bulan. Beasiswa itu aku jadikan sebagai pengganti kiriman Bapakku. Dan masa-masa itu masih terus berjuang dengan memberikan les privat untuk biaya tambahan.

Mungkin pada masa-masa semester 1-4 (see next story), makan dengan lauk ala kadarnya, mi instant, dan bahkan gak makan pun udah biasa. Tapi Alhamdulillah, Do’a ayah ibuku selalu menyertai setiap langkahku sehingga aku mampu melewatinya dengan mudah. Alhamdulillah indeks prestasiku selalu diatas 3.5.

Hikmah yang dapat dipetik, setiap ada kemauan, pasti selalu ada jalan. Jangan pernah menyerah dengan keadaan yang ada. Kalau bukan kita yang mengubah kondisi kita, maka Allah pun tidak akan mengubah hidup kita. Allah akan mengubah hidup kita ketika kita mau berusaha mengubahnya. Buat adik-adik yang punya potensi tapi memiliki keterbatasan ekonomi, jangan pernah menyerah pada keadaan. Yakinlah bahwa kalianlah yang harus mengubah hidup kalian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *