Masa Sekolah Dasar

Masa-masa sekolah sejak SD, SMP, hingga SMA adalah masa-masa yang selalu mengingatkanku pada 3 orang: Ibu, Ayah, dan Kakekku. Ayah, Ibu, dan Kakekku adalah orang-orang yang paling berjasa dalam mendidikku tentang pengetahuan agama. Merekalah yang mengajarkanku tentang arti sabar, tawakal, syukur, dan berbagi. Hingga kini, akupun belum bisa membahagiakan mereka semua. Hanya do’a yang bisa aku kirimkan kepada mereka. Berikut ini adalah perjalanan hidupku sedari SD hingga SMA.

Aku masuk sekolah di SD Negeri Kagok I pada tahun 1988. Di desaku dulu hanya ada 3 SD: SD N Kagok 1, 2, dan 3. Aku pun tak tahu kenapa aku memilih SD tersebut. Waktu itu aku hanya menurut dengan pilihan dari orang tuaku (Maklum…namanya juga masih anak-anak).

Sebagaimana layaknya anak-anak, aku pun sangat senang bisa bersekolah dan berinteraksi dengan teman-temanku. Hal-hal yang masih aku ingat hingga sekarang adalah, pada catur wulan pertama, hasil ujianku semuanya bernilai 100, kecuali pendidikan agama islam yang mendapat nilai 7. Aku bangga sekaligus sedih. Bangga karena bisa mendapatkan peringkat 1 dikelas dan sedih karena nilai agamaku hanya 7. Aku pun masih ingat saat aku masuk SD, aku belum bisa membaca Al Qur’an.

Sejak aku lahir hingga kelas 1 SD, keluargaku tinggal dirumah milik kakekku (Orang tua Ibu). Ya, disitu sudah menggunakan penerangan listrik. Namun, 1 rumah itu ada 3 keluarga: keluarga ku dan kedua adik ibu. Entah kenapa, aku pun tak tahu, ayahku memutuskan pindah rumah. Pada pertengahan kelas 1, rumah baru ku telah selesai dibangun. Walaupun masih berlantaikan tanah dan belum dicat dindingnya.

Rumah tersebut terletak tepat ditengah-tengah areal persawahan dan perkebunan. Disitu hanya ada 3 bangunan, rumahku, rumah pamanku (saat itu kosong karena masih di Timor Timur (skr Timor leste), dan pabrik pengolahan beras (ricemill). Perumahan terdekat berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahku. Dengan kondisi seperti itu, sudah dapat diprediksi bahwa tidak ada aliran listrik untuk penerangan. Jangankan penerangan rumah, listrik penerangan jalanpun belum ada dan teakhir hanya hingga perumahan terdekat (500m).

Dengan kondisi seperti itu, Bapak/Ibuku mengajarkan sebuah arti perjuangan dan rasa syukur atas semua karunia yg Allah karuniakan. Sejak mulai pindah ke rumah tersebut, kami hanya menggunakan penerangan menggunakan lampu temple (lampu teplok atau ceplik kata orang jawa). Tiap pagi hidung pun menjadi hitam akibat efek pembakaran. Selain itu, mengingat lokasi yg jauh dari perumahan dan di tengah-tengah perkebunan/persawahan. Tak heran juga kalau kami terkadang merasa kurang aman. Apalagi saat itu hingga aku lulus SD hanya keluargaku yg tinggal disitu. Saat itu, Ayahku juga masih sering berlayar ke berbagai pulau di Indonesia. Bisa dibayangan kalau hanya ada Ibu, Kakak-kakak ku (Guntur Gunawan (11thn), Andi Kurniawan (8 thn), aku (6 thn)) dan adik perempuanku (Dona Fatmawati (2thn). Karena merasa kuatir dengan kondisi itu, akhirnya Kakek (Nuriman) selalu bersedia tinggal dirumahku apabila Ayahku mendapat tugas berlayar. Tugasnya itu paling tidak lebih dari 1 bulan.

Namun, dengan kondisi keterbatasan yang ada Ibu, Ayah, dan Kakekku selalu mengajarkan ku untuk selalu mensyukuri apa yg ada dan berusaha dengan cerdas dan keras. Tidak adanya listrik untuk penerangan, tidak menghalangiku untuk berusaha berprestasi. Terkadang, teman-temanku mengejek kondisi rumahku yg tanpa penerangan listrik. Aku pun terkadang merasa malu dengan kondisi keluargaku yg seperti itu, tapi lambat laun, aku pun sadar, merasa rendah diri hanya akan membuat mental kita menjadi kerdil dan menjadi pecundang.

Setiap kali datang masa ujian, Ibu, Ayah dan kakekku, merekalah yang sering kali membangunkanku pada jam 3 pagi. Merekalah yg mendidikku untuk shalat tahajud sebelum belajar dipagi hari. Awalnya memang sangat berat dengan kondisi rumah yg gelap (mungkin mirip dengan penerangan dalam rumah Asrul dalam sinetron Para Pencari Tuhan). Sering aku tertidur di meja belajar, Ibukulah yg sering membangunkanku kembali untuk belajar, beliaulah yg sering kali membuatkanku kopi susu untuk menghangatkan dan menghilangkan kantukku untuk belajar. Dengan berbagai keterbatasan yang ada dan dengan dukungan merekalah, selama aku SD (sejak kelas 1-hingga lulus SD) aku selalu menduduki peringkat 1.

Dalam kurun waktu yang tidak lama, Ayahku memiliki tabungan yang cukup untuk memasang ubin (waktu itu belum mampu untuk beli keramik). Ya, lebih baiklah dibandingkan lantai tanah atau hanya lantai semen. Lumayan, walaupun masih gelap  tapi sudah punya lantai yg mendingan bagus. Dulu sempat khawatir sewaktu berlantai tanah atau semen, sering kali ular masuk ke dapur. Dan yg lebih menyedihkan lagi, beberapa bulan awal menempati rumah tersebut WC pun belum jadi. Setiap pagi pergi ke sungai kecil dekat rumah kalau ingin buang air besar. Untuk mendapatkan air bersih, kami hanya memiliki sumur yg harus diambil dengan katrol (ngangsu, kl istilah orang tegal).

Menginjak usia 7 tahun, sedikit perubahan pun ada, Ayahku membeli lampu petromax untuk menerangi ruang tengah.  Sejak saat itu juga aku mulai bersekolah ke madrasah untuk mempelajari ilmu agama. Pagi belajar di SD, siang hingga sore belajar agama di madrasah. Sepulang madrasah pun masih dilanjutkan dengan belajar membaca Al Quran. Ayahku selalu membatasi bahwa tepat magrib (paling lambat pukul 7 malam), semua anak-anaknya harus sudah ada dirumah. Beliau khawatir karena selepas jam 7 malam, jalan menuju rumah sudah sangat gelap dan sangat jarang orang yg lewat. Alhamdulillah, kakak-kakakku dan aku mematuhi peraturan tersebut.

Kami juga tidak memiliki TV kala itu. Bagaimana kita membeli TV kalau listrik pun tidak ada. Hingga kelas 4 SD pun aku sering kali terdiam dan bengong ketika teman-temanku disekolah ngobrol tentang film-film animasi/kartun yg mereka tonton.  Mulai kelas 5 SD, mulailah aku mendapatkan tugas untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah.  Ibuku sejak aku belum lahir berprofesi sebagai pedagang makanan (Warung makan didepan rumah) karena banyak buruh tani yg membutuhkan makan pada siang hari. Karena kesibukan Ibu berdagang itulah, Ayahku memutuskan kebijakan bahwa:

Ibu dilarang mencuci pakaian dan pekerjaan rumah lainnya. Pekerjaan rumah harus dikerjakan oleh Ayah dan dibagi kepada anak-anak berdasarkan kemampuan. Pekerjaan mencuci baju semua anggota keluarga, mengisi bak mandi, air untuk memasak dan mencuci piring dikerjakan oleh Ayah, Mas Guntur, dan Mas Andi. Untukku yg waktu 11 tahun, diberi pekerjaan untuk menyapu seisi rumah dan mencuci piring dipagi hari.

Sepulang sekolahpun kami bertiga harus bergantian membantu Ibu berjualan. Ada yang membantu mencuci piring, menjaga warung, dan juga ada yg berbelanja.

Setiap sore (sekitar jam 5-6 sore), kami bertiga juga harus mengisi lampu2 tempel, petromax dengan minyak tanah dan menyalakannya untuk penerangan. Ayah selalu mebiasakan kami untuk shalat berjamaah. Selepas maghrib, kami biasa mengaji dan dilanjutkan makan malam bersama. Alhamdulillah, kami merasakan nikmat yang luar biasa walaupun dalam kondisi yg terbatas. Ayah akan sangat marah bila ada anaknya pada pukul 5.30 pagi belum bangun tidur.

Itulah rutinitas-rutinitasku sejak kelas 5 SD. Menginjak kelas 6 SD, Ayah membelikan kami sebuah TV hitam putih bersama accu bekas sebagai pengganti listrik untuk TV. Sejak saat itu, ada sedikit hiburan dibandingkan sebelumnya yang hanya bisa mendengarkan radio. Tapi, Ayah juga membatasi kami dalam menonton TV hingga jam 8 malam, setelah jam 8 malam, kami harus mulai belajar dan setelah belajar tidur. Namun, kami menikmati aturan-aturan yang Ayah buat. Karena kami yakin, semua itu Ayah lakukan demi kebaikan anak-anaknya.

Keberadaan TV tidak mempengaruhi prestasiku. Alhamdulillah aku masih bisa mempertahankan perngkat 1 dan pada saat lulus SD aku memperoleh NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi. Saat itu aku juga mendapatkan hadiah beberapa beasiswa berkat prestasiku itu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *