Masa SMP

Aku lulus SD pada tahun 1994. Aku pun melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di daerahku (Kab. Tegal), sekolah yg dikenal memiliki prestasi bagus adalah SMP N 1 Slawi. Sudah bertahun-tahun sekolah ini menjadi raja di daerahku. Dengan modal NEM yang bagus dari SD, aku pun mendaftar di SMP N 1 Slawi dan Alhamdulillah diterima.

Saat itu, SMP N 1 Slawi melakukan program kelas unggulan di mana para jawara-jawara dari setiap SD dikumpulkan dalam 1 kelas yaitu kelas 1B. Aku ingat betul orang-orang yang masuk di kelas tersebut. Banyak teman-teman yg hingga kini masih “keep in touch”. Ada Achmad Ali Sidiq yg sekarang sudah menjadi dokter, ada Panji Aryo Susalit (Toyota), Doni Prasetyadi (PNS), Udi Wicaksono Kurniawan (Guru), Dian Wahyu Pinasti (Guru), Aulia Abdurrohim S (Apoteker), Anindita Hapsari (sekarang malah jadi pendampingku), Tinton Pangestu (BCA), dan masih banyak yg tidak bisa aku sebutkan satu per satu.

Saat memasuki sekolah tersebut, aku baru merasakan arti kompetisi yang sebenarnya. Wajar, karena sewaktu SD, hanya ada 1 kelas, tapi SMP ada 10 kelas dan diperparah dengan masuk dalam kelas unggulan pula. Aku dulu pernah ditantang oleh kakakku (Andi Kurniawan). Kurang lebih begini: Kalau SD, kamu sudah biasa peringkat 1, dan itu wajar karena hanya ada 1 kelas. Sekarang di SMP, ada 10 kelas dan kamu masuk dalam kelas unggulan. Aku tantang apakah kamu masih bisa peringkat 1? Jika masih bisa, aku akan memberikanmu sesuatu.

Kurang lebih begitulah tantangannya. Aku pun tak tahu apa maksud dia berkata seperti itu, apakah untuk memberikan semangat atau mempertanyakan apakah aku hanya jago kandang (local). Namun, Ibuku selalu member semangat untuk tidak takut bersaing walaupun di kelasku banyak jawara – jawara SD yang notabene NEMnya lebih tinggi dariku. NEMku dikelas tersebut masuk dalam kategori 50% menengah kebawah.

Dengan dukungan Ibu, Ayah, dan Kakekku, aku terus belajar dengan sungguh-sungguh. Diluar dugaan, saat ujian caturwulan, aku memperoleh nilai matematika 100. Dan sampailah pada hari yang ditunggu-tunggu yaitu penerimaan raport. Saat itu aku meminta Ayahku untuk mengambilkan raport. Ketika aku terima raport tersebut, sungguh tidak diduga, aku meraih peringkat 1. Dan itupun bukan hanya peringkat 1 dikelas melainkan peringkat 1 pararel dari 10 kelas yang ada.

Saat itu aku teringat sebuah kalimat “merebut itu lebih mudah daripada mempertahankan”. Dan itu terjadi padaku, persaingan yang ketat antar sesame jawara membuatku turun peringkat. Aku heran, karena semua nilaiku naik tapi peringkatku turun. Ternyata sebagian teman-tamanku mengalami kenaikan yg cukup signifikan. Aku masih ingat dengan Sidiq dan Doni, mereka berdua adalah orang – orang yang seringkali mengajakku berkompetisi untuk memperebutkan peringkat 1 hingga 3.

Diakui atau tidak, semasa aku sekolah disini, ada 1 matakuliah yang sangat aku takuti, yaitu bahasa inggris. Di sekolah ini, aku baru pertama kali mengenal adanya pelajaran bahasa inggris. Seorang anak kecil yang tinggal di sawah, tanpa listrik, tanpa TV, bagimana bisa berbahasa inggris. Ayahku sempat menyuruhku untuk kursus bahasa inggris namun kandas di tengah jalan. Akhirnya aku lalui sekolah disitu dengan kemampuan bahasa inggris apa adanya.

Namun, aku memiliki kemampuan lain di bidang matematika dan IPA. Pada tahun 1997, ada olimpiade matematika fisika (MAFIS 97) yang diadakan oleh SMA N 1 Tegal untuk tingkat karesidenan. Itu adalah kompetisi pertamaku, aku berpartisipasi dalam olimpiade tersebut hanya karena penasaran. Akhirnya aku hanya bisa menjadi finalis 40 besar tingkat karesidenan bersama Sidiq dan Efi. Ya, tak apalah hanya finalis.

Pada akhir kelas 3, kami juga berkompetisi untuk memperebutkan NEM tertinggi, karena biasanya NEM tertinggi di sekolahku selalu menjadi yang tertinggi di kabupaten. Saat pra EBTA, aku mengalami kondisi yang kurang sehat. Namun, aku mash berusaha untuk bangun pagi dan belajar seperti biasanya. Namun, pada saat mengerjakan soal-soal praEBTA tersebut, badanku panas dan berkeringat dingin. Akhirnya aku hanya mengerjakan soal-soal semampuku.

Beberapa lama kemudian, keluarlah NEM sementara. Aku pun tak heran kalau aku terlempar dari 10 besar NEM sementara tertinggi. Kalau tidak salah aku malah hampir terlempar hingga 50 besar. Inilah cambuk bagiku untuk semakin giat belajar dan menjaga kondisi tubuh. Aku mempersiapkan dengan sungguh-sungguh EBTA yang sesungguhnya. Seperti biasa, Ibu, Ayah, dan Kakekkulah yang mendukung dan memotivasiku untuk semangat belajar. Aku pun masih teringat, kakekku mengajarkanku untuk selalu melaksanakan shalat Dluha setiap hari.

Entah mengapa, ketika aku bandingkan rasa nyaman ketika ujian dengan persiapan penuh tanpa sempat shalat tahajud dibandingkan dengan persiapan tidak penuh tapi sempat shalat tahajud. Aku merasakan lebih nyaman ketika aku bisa shalat tahajud. Dan inilah yang aku rasakan hingga sekarang. Alhamdulillah, saat itu hampir setiap hari aku bisa bangun pagi, belajar didahului dengan shalat tahajud walaupun harus penuh perjuangan untuk menyalakan lampu petromax dipagi yg gelap gulita.

Waktu pengumuman pun tiba, pengumuman akan dibacakan di acara perpisahan. Semua orang tua murid kelas 3 yang akan lulus hadir disitu. Ayah ku pun datang. Aku hanya bisa berdoa semoga namaku ada dalam daftar 10 besar NEM dan 5 besar nilai STTB. Pengumuman pun dimulai dengan disampaikannya tingkat kelulusan dari SMP N 1 Slawi mencapai 100% dan NEM tertinggi dan rata-rata NEM tertinggi se-kabupaten dipegang oleh SMP N 1 Slawi. Wow, suatu hal yang membanggakan bukan?

Tapi aku masih dag dig dug karena sebentar lagi pengumuman 10 besar tertinggi. Saat itu panggil: Muhammad Suprihat, Aulia AS, Tinton Pangestu, Anindita Hapsari, hingga Doni dan Sidiq hingga peringkat ke 3. AKu hampir putus asa, bayangkan saja kalau Doni dan Sidiq yang menjadi kandidat utama saja sudah mentok di peringkat 3. Tapi aku hanya berdoa semoga aku masih masuk. Dan akhirnya, akupun dipanggil sebagai peringkat 2 baik NEM atau nilai STTB. Peringkat 1 pun diperoleh oleh FX Ari Krismanto N, boleh dibilang kuda hitam dalam perebutan peringkat NEM kala itu.

Ya, aku sudahi bersekolah di SMP N 1 Slawi (ketika lulus berganti menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Slawi/ SLTPN 1 Slawi) dengan suatu hal yang semoga bisa membuat Ibu, Ayah, dan Kakek ku bangga. Selama bersekolah di sana, aku bersyukur bisa selalu masuk dalam 10 terbaik pararel.

Banyak kenangan dengan guru-guru (ada yang galak, ada yang penyayang, ada yang sangat baik hati), teman-teman (banyak yang suka mengejekku karena kondisiku, saling mengolok-olok, menjodoh-jodohkan antara siswa dengan siswi yang padahal tidak ada apa-apa), satpam (pernah bolos pada masa habis ujian), pedagang kantin (tempat nongkrong bersama teman-teman, padahal sering ditraktir juga sama yang namanya Udi hehehehehe).  Semua kenangan itu yang membuatku kangen akan masa-masa sekolah. Terkadang tertawa melihat perjuanganku untuk belajar demi sebuah prestasi. Belajar dalam keterbatasan harus membantu orang tua berjualan demi bersaing dengan teman-teman yang sepulang sekolah masih bisa les privat atau kursus. Itulah kehidupan yang mau tidak mau HARUS kita syukuri.


ALHAMDULILLAH ya Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *