Kenangan Mudik 2004
Aku memiliki kenangan mudik yang akan sangat sulit untuk dilupakan. Mudik itu sangat berkesan dan mungkin akan jadi kenangan tersendiri bersama “my best friend” yang sekarang bekerja di BI, Mohammad Nuryazidi (panggil saja Didi). Pada awal ramadhan aku dan dia sering kontak untuk merencanakan mudik bersama. Aku sudah sering merasakan mudik dengan bus atau kereta ekonomi. Sudah sering merasakan berebut kursi hingga berdiri sepanjang perjalanan Jakarta – Slawi. Akhirnya kami putuskan untuk mudik bersama dengan sepeda motor. Waktu itu Didi punya motor Yamaha RX King. Dan parahnya aku tidak bisa mengendarai motor kopling. So, jadilah Didi jadi supir pribadiku (hehehehehe..maap ya Di). Kami mulai berangkat pagi-pagi dari Condet setelah subuh. Dengan mantab kami memacu motor kami. Ketika sampai Cawang, kami pun bingung, ke arah mana yang harus kami tuju agar sampae ke Tegal/Slawi. Setelah melihat papan petunjuk, kami putuskan belok kanan. Konyolnya, jalan itu tak berujung kea rah Bekasi atau Karawang, jalan itu justru menuju ke Halim Perdana Kusuma. Kami pun tertawa dengan kekonyolan kami. Maklum, itu adalah pertama kalinya kami mudik dengan kendaraan pribadi, motor tepatnya karena kami tak punya mobil.
Setelah putar balik untuk mengkoreksi rute perjalanan, akhirnya kami pun berhasil menemukan rute yang benar. Panas matahari, debu jalanan, padatnya jalur mudik, tak menyurutkan langkah kami. Kami pun beristirahat di sebuah masjid kawasan Cikampek. Kulihat banyak pemudik yang melepas lelah hingga tidak berpuasa. Ya, itu memang keringanan ketika kita menempuh perjalanan jauh. Tapi Alhamdulillah kami berdua memutuskan tetap berpuasa walaupun dalam perjalanan mudik.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah kami di Brebes, kami singgah di kediaman orang tua Didi. Setelah beristirahat sebentar, aku dan Didi pamit untuk ke Slawi. Tepatnya Didi bermurah hati mengantarkanku ke rumah. Didi pun mengajak adiknya untuk ikut agar perjalanan pulangnya ada yang menemani. Mendekati kota Slawi AYU (begitu julukan kota kami), aku bilang ke Didi untuk mampir dulu ke ATM.
Purba : “Di, mengko mampir ning ATM disit ya, ora nduwe duit kyeh” (Di, nanti mampir ke ATM dulu ya, gak punya uang nih)
Didi: “Sip Nyong, dudukna bae ATMe ning endi, aku ya pan njukut duit” (Ok bro, tunjukin aja ATMnya dimana, aku juga mau ambil uang)
Kami pun mampir di ATM BCA yang berdekatan dengan BNI, Didi akhirnya menggunakan atm BNI karena tidak ada Bank dia disitu. Begitu selesai, kejadian konyol pun dimulai. Didi menyalakan motornya, kemudian adiknya naik dibelakangnya, setelah itu harusnya giliranku naik dibagian belakang. Namun, Didi tiba-tiba sudah memacu motornya tanpa menyadari kalau aku belum terangkut. Aku teriak memanggilnya tapi Didi tak mendengarnya karena memang ramai sekali kondisinya. Akhirnya kuputuskan menunggu saja di ATM karena pastinya Didi akan sadar kalau “temannya hilang”.
Tak lama kemudian, kulihat didi kembali lagi ke ATM sambil tertawa, aku pun tertawa terbahak-bahak karenanya.
Purba: “Di, bisane langsung mlayu bae?” (Di, kenapa langsung jalan?)
Didi: “Tak pikir kowen si munggah, jebule mung adiku tok”. (aku pikir, ente udah naik, ternyata Cuma adikku doank)
Purba: “lha aku sih mikire mesti balik maning, wong ora ngerti umahe aku. Trus miki nyadare ning endi?” (lha, aku Cuma berpikir pastinya nanti kembali lagi, karena gak tahu posisi rumahku. Trus, tadi baru sadar dimana?)
Didi: “Nyadare pas lewat jembatan kali gung, trus ana pertelon, aku takon ‘ba, kiye ning endi arahe?’ lha sing jawab adine aku, kancane laka mas mikir during munggah. Lha bisane orang ngomong. Akhire balik maning.” (Sadarnya setelah melewati jembatan Sungai Gung, kemudian ada pertigaan, aku tanya ke belakang ‘Ba, ini arahnya kemana?’ ternyata yang jawab Adikku: ‘temannya gak ada Mas, tadi belum naik’. Lho, kenapa gak bilang dari tadi. Akhirnya langsung saja putar balik lagi).
Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai dengan selamat di rumah orang tua ku yang sangat “mewah” (mepet sawah).
Seoul, 4 Agustus 2013
Purba “Nyong” Purnama