General,  Reflection

Menjadi Bang Thoyib

Pagi itu, 8 Agustus 2013, bertepatan dengan 1 Syawal 1434 H. Alhamdulillah penetapan Idul Fitri di Korea, bersamaan dengan di Indonesia. Sama-sama 1 Syawal, sama-sama 8 Agustus 2013.

Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar… Laa ilaahailallahu Allahu Akbar..Allahu akbar walillahilhamdu.

Gema takbir berkumandang di mana-mana, termasuk di kontrakan-kontrakan kami yang terselip diantara bangunan-bangunan tanpa gema takbir di belahan negeri ginseng. Hanya suara takbir dari laptop yang menyertai takbir kami.

Sejenak ku sadari bahwa lebaran kali ini adalah lebaran kelima semenjak aku memutuskan untuk menuntut ilmu dengan meninggalkan tanah air beta. Tepatnya lebaran ketiga berturut di “land of Gangnam style”, karena sebelumnya sempat berlebaran di tanah air tahun 2010 lalu. Terasa beda? Tentu, lebaran di negeri minoritas sangatlah berbeda dengan lebaran di Indonesia sana. Tak perlu mudik, tak perlu bermacet-macet ria diperjalanan, dan lain sebagainya.

Namun, ketiadaan “mudik” itu bukanlah tanpa cerita. Sejak mengawali berpuasa dan berlebaran di Korea, kami (para perantau) sudah terbiasa dengan kemandirian, kesederhanaan (karena memang tak punya apa-apa..hehehe), dan tentunya kebersamaan dengan sesame perantau Indonesia yang sama-sama mengais ilmu dan rizki disini.

Sebuah kenikmatan tersendiri berpuasa di musim panas seperti sekarang ini, hawa panas dan lembab menjadi teman yang senantiasa menemani, plus pemandangan-pemandangan yang membuat kami harus menutup mata setiap saat, setiap hari. Kalau di Indonesia, mungkin orang yang tidak berpuasa diminta atau kadang “dipaksa” menghormati yang berpuasa. Namun, di sini, yang berpuasalah yang dengan kesadaran diri menghormati yang tidak berpuasa. Kita menyadari, tak perlu lah kita menuntut orang lain menghargai apa yang kita lakukan, termasuk dalam hal ibadah. Tapi dengan menghormati mereka, dengan memberikan contoh kepada mereka, maka lambat laun mereka akan menyadari dan menghormati kita tanpa perlu kita minta atau paksa.

Karena  islam adalah agama yang harus menjadi rahmat bagi semesta alam. Terkadang kami hanya bisa mengernyitkan dahi ketika banyak berita tentang tuntutan-tuntutan di berbagai wilayah bagaimana “permintaan” atau bahkan “peraturan” yang diminta diterapkan pada rumah makan – rumah makan. Permintaan tidak beroperasi pada siang harilah, diminta menggunakan tirai dan semacamnya dengan “alasan” menghormati orang berpuasa. Satu hal yang bisa kami sampaikan adalah WOW gampang sekali puasa disana. Semua godaan diminta ditutup. Berpuasa itu kembali pada keimanan dan ketakwaan masing-masing orang. Bukan karena aspek yang ada diluar sana. Walaupun warung-warung tutup sekalipun, jika kita memang tidak niat berpuasa, toh akan makan dan minum juga. Karena puasa merupakan ibadah yang hanya diketahui oleh pelaksana dan Tuhannya.

Bukan karena jumlah yang berpuasa lebih banyak lantas kita jadi tidak menghormati dan menghargai hak-hak orang lain yang tidak berpuasa atau yang beragama lain. Seharusnya ketika kita berpuasa, kita bisa lebih menghargai dan menghormati hak-hak orang lain baik yang berpuasa atau pun tidak.

Menjelang lebaran, satu hal yang sudah membudaya adalah “THR” atau tunjangan hari raya dan “cuti bersama” yang berkorelasi dengan budaya mudik. Terkadang di pikiran liar kami terlintas, THR itulah yang sepertinya menjadi penyebab inflasi pada penghujung ramadhan, THR itulah yang sepertinya mengajarkan kita untuk membenarkan budaya konsumtif di penghujung ramadhan. Padahal, sepertinya sudah menjadi pembenaran di masyarakat bahwa pengeluaran di bulan ramadhan justru membengkak berkali lipat padahal waktu makan berkurang 1 kali setiap harinya. Sebuah phenomena yang aneh tapi nyata.

Lain halnya nasib kami disini. Jangankan THR, warna kalender pun tak bergeser dari hitam menjadi merah. Sudah bukan hal yang aneh jika orang-orang sibuk urusan mudik atau follow mainstream diakhir ramadhan dengan beri’tikaf, sebagian dari kami diperantauan terkadang berkutat di laboratorium hingga tengah malam bahkan tak sedikt yang “berdiam diri” di lab hampir di setiap malam-malam ramadhan.

Tak sering pula sebagian dari kami mau tidak mau “bertakbiran” di lab, bukan di masjid atau mushola. Tidak sedikit pula yang pada hari raya idul fitri hanya berkesempatan untuk ikut shalat Ied kemudian “back to lab or work”. Sudah menjadi hal yang biasa bagi kami kaum perantauan berlebaran tanpa ketupat, opor ayam, apalagi kue-kue lebaran. Yang insyaAllah selalu ada bagi kami adalah rasa syukur atas nikmat dan indahnya menjalani hidup beragama di tengah-tengah Negara tak beragama yang memiliki budaya sangat bertolak belakang.

Ketiadaan THR, cuti bersama, hingga menu-menu lebaran yang menggiurkan itu  justru menguatkan pemahaman kami tentang makna saling berbagi, saling menghormati dan menghargai. Saling berbagi antar keluarga dan masyarakat perantau membuat kami benar-benar merasakan “berkah idul fitri”. Semakin kita menghargai orang/umat lain, semua manfaatnya akan kembali pada kita masing-masing. Pemahaman tentang makna pengendalian diri pada saat berpuasa, tidak hanya terfokus pada kotak-kotak kaum muslim saja. Tapi harus terbuka kepada semua yang ada disekeliling kita.

Sebulan penuh menjalani training pengembangan diri dalam konteks spiritual “puasa” sudah seharusnya berimbas pada perbaikan kualitas pribadi di hari-hari berikutnya. Peningkatan kualitas ibadah, peningkatan rasa kepedulian social, pengendalian diri dalam berbagai hal, control emosi hingga kesadaran tentang makna saling menghormati yang menghargai. Sudah sepatutnya ada sebuah lompatan perbaikan kualitas pribadi ketika menginjakan kaki dibulan Syawal paska ramadhan.

Meskipun nuansa lebaran kami tidak seperti meriahnya nuansa lebaran di negeri tercinta, tapi setidaknya kebersamaan kami, sesama “Bang Thoyib atau calon Bang Thoyib” disini semakin menguatkan ikatan persaudaraan satu sama lain. Semoga ikatan persaudaraan ini tidak berhenti dalam batasan “land of Gangnam style” saja, tetapi terus berlanjut dimanapun kita berada. Dan semoga kelak kita dikumpulkan bersama dalam sebuah kebersamaan hakiki di Syurga NYA nanti. Amiin ya robbal ‘alamiin.

20130808_104449

Taqobalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum.
Minal aidin walfaidzin
Mohon maaf lahir bathin atas segala khilaf dan salah kami.

Seongbuk-gu, sudut lab3256
Bang Thoyib Seokgwandong 340-62

Purba

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *